Minggu, 01 Maret 2015
Kualitas transportasi publik perkotaan di Indonesia dinilai masih rendah. Permasalahan ini mengemuka karena terdapat berbagai kelemahan yang menjadi sebab terpuruknya kualitas pelayanan transportasi publik perkotaan. Kelemahan tersebut utamanya terjadi dalam perencanaan operasionalisasi transportasi publik. Kelemahan perencanaan bisa dilihat dalam dua sisi yaitu kelemahan perencanaan secara teknis dan kelemahan perencanaan secara ekonomi.
Secara teknis, perencanaan operasional transportasi publik perkotaan belum komprehensif dan mendalam. Menurut Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (Selanjutnya disebut DLLAJ) perencanaan operasional transportasi publik perkotaan belum mencakup semua aspek-aspek yang terlibat di dalamnya seperti pola tata guna lahan, pola jaringan jalan, pola penyebaran penduduk, pola pergerakan, sistem operasi (rute/trayek) dan tingkat pelayanan. (DLLAJ Kota Surakarta, 2007: I-1). Akibatnya, alih-alih berfungsi sebagai solusi permasalahan lalu lintas kota, angkutan umum justru dianggap menjadi salah satu sumber permasalahan lalu lintas perkotaan.
Secara ekonomi, kelemahan perencanaan terjadi dalam estimasi biaya dan manfaat operasional perusahaan penyedia jasa transportasi, Indikator yang paling mudah dilihat dari kelemahan ini adalah perilaku penentuan tarif angkutan umum. Idealnya tarif tercipta dari tarik-menarik antara preferensi harga konsumen dengan pengerahan sumber daya secara optimal dari produsen hingga membentuk sebuah ekuiliribium harga. Namun dalam kasus angkutan umum, keadaan ideal tersebut tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena ada indikasi terjadinya kegagalan pasar dalam industri angkutan umum perkotaan. Bentuk dari kegagalan pasar dalam industri angkutan umum adalah bangun pasar industry angkutan umum yang tidak sempurna.
Meskipun angkutan umum merupakan jasa pelayanan publik, tetapi perilaku penentuan tarif jasa angkutan umum mengarah pada oligopoli yang kolusif. Dikatakan sebagai oligopoli yang kolusif karena pihak perusahaan melalui Organisasi Angkutan Daerah (Organda) melakukan kesepakatan mengenai tarif angkutan umum yang berlaku. Dalam keadaan ini perusahaan mendapatkan kekuatan monopoli dalam penentuan tarif. Akibatnya masyarakat menerima tarif yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif saat ada persaingan yang lebih efektif antar perusahaan penyedia jasa transportasi umum perkotaan.
Struktur pasar yang memberi kekuatan monopoli kepada perusahaan penyedia jasa angkutan umum berdampak pula pada kualitas pelayanan jasa dalam industri angkutan umum. Dorongan untuk bersaing dalam bentuk perbaikan kualitas antar perusahaan akan minim. Akibatnya perusahaan cenderung tidak memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada secara maksimal. Yang berarti kualitas pelayanan angkutan umum tidak bisa menjadi cerminan dari kemampuan maksimal produsen dalam menyediakan pelayanan jasa angkutan umum. Dalam Mangkusubroto, keadaan ini dikatakan sebagai keadaan dimana mekanisme harga tidak dapat berfungsi secara efisien dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi (Mangkusubroto,1998:27)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar