Selasa, 10 Oktober 2017


Sumber: ilustrasi penulis

Dengan dicabutnya upaya Kasasi perkara gratifikasi Bupati Non Aktif Tanggamus Bambang Kurniawan yang diajukan oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan karena putusan banding sudah mengakomodasi permintaan jaksa yaitu barang bukti uang di rampas untuk negara. Maka putusan di tingkat banding sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Selanjutnya dengan putusan inkracht tersebut oleh jaksa harus di jadikan pintu masuk untuk membuka kasus ini seluas-luasnya dan mengusut siapa saja yang terlibat atas perbuatan gratifikasi atau perkara suap pembahasan dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2016 Kabupaten Tanggamus. Perkara ini dahulu mencuat ke publik dengan diawali pengembalian uang gratifikasi yang telah diterima oleh ke 13 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tanggamus ke Kantor KPK di Jakarta dengan nominal yang bervariasi. Lalu pertanyaan sekarang adalah  haruskah Penerima Uang (gratifikasi) yaitu 13 Anggota Dewan Tanggamus harus ikut bertanggung jawab secara pidana ?

Pengusutan terhadap penerima uang Gratifikasi yang telah mengembalikan uang kepada KPK memang harus dan penting sebab tindak pidana yang dilakukan telah terang benderang dan memenuhi unsur-unsur dalam rumusan gratifikasi, namun ada hal yang paling penting sekali yaitu pengusutan terhadap anggota DPRD yang menerima tetapi tidak mengembalikan dan tidak mengakuinya dalam agenda sidang pemeriksaan saksi-saksi (memberikan keterangan palsu) di Pengadilan Tipikor. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi jaksa KPK untuk terlebih dahulu melakukan pengusutan terhadap anggota DPRD yang menerima, tidak mengembalikan dan tidak mengakuinya. Sehingga jangan sampai mereka ke 13 anggota DPRD Tanggamus penerima yang telah mengembalikan uang merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil seakan-akan upaya mereka tidak dihargai .

Pada tindak pidana gratifikasi tentunya harus ada pemberi dan juga penerima sama seperti tindak pidana penyuapan, keduanya sama-sama sebagai pelaku tindak pidana sesuai dengan rumusan yang ada di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Memang betul penerima gratifikasi telah mengembalikan uang tersebut sebelum melewati batas waktu 30 hari yang telah ditentukan oleh undang-undang, namun sebelumnya telah ada rangkaian perbuatan menerima uang oleh anggota dewan tersebut sebanyak 3 (tiga) kali. Sehingga pengembalian uang tersebut tidak dapat menghilangkan pidananya tetapi akan menjadi pertimbangan yang meringankan nantinya ketika kasus ini dilanjutkan oleh Jaksa KPK. Para penerima gratifikasi yang telah mengembalikan uang ke KPK telah dilindungi oleh LPSK_Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam upaya mereka menegakkan hukum dengan jalan melaporkan dan mengembalikan uang gratifikasi tersebut. Bukankah melaporkan adanya suatu tindak pidana adalah kewajiban bagi setiap orang yaitu sebagai warga Negara. Seperti diatur pada pasal 165 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan, bagi mereka yang mengetahui adanya suatu tindak pidana tetapi tidak melaporkannya dapat diproses secara hukum. (ketua LPSK Abdul Haris Semendaway_kawung/Jawa post). Dalam hal ini mereka dapat dijadikan sebagai Justice Collabolator yaitu merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan ( SEMA Nomor 4 Tahun 2011 ). Dalam SEMA tersebut keberadaan Justice Collabolator bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu tersebut. Acuan SEMA adalah Pasal 37 ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention against Corruption ) yang bebunyi “Setiap Negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collabolator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”

Dalam hal ini baik ke 13 anggota dewan  dan/atau para inisitor pengembalian uang gratifikasi ke KPK dapat dijadikan sebagai Justice Collabolator dan Whistleblower atau mendapatkan deponering yaitu mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atas jasa mereka mengungkapkan  tindak pidana gratifikasi ini terlepas apapun motif mereka, tetapi upaya yang mereka lakukan patut diberikan apresiasi dan ucapan terima kasih dari KPK karena telah membuka dan memutus rantai kebiasaan-kebiasaan yang selama ini lazim terjadi  dalam pembahasan-pembahasan APBD Tanggamus yaitu adanya uang suap, uang lobi dan uang ketok palu dan uang-uang lainnya yang tidak ada dalam peraturan perundang-undangan. Seperti yang dikatakan salah satu anggota Dewan dari ke13 anggota DPRD tersebut yaitu Sdr KURNAIN bahwa dirinya mengembalikan uang gratifikasi yang telah diterima tersebut berangkat dari rasa takut sebab uang tersebut tidak ada dasar hukumnya dengan kata lain melanggar aturan yang ada. (SDM)

#DiamBukanPilihan
#LPSKmelindungi


0 komentar: